FB Tweet Group
TOLONG!!! Jangan KLIK INI !!!
mm

SELAMAT DATANG DI ◦☆◦ GO|Blog's ◦☆◦

SEBUAH KEBANGGAAN TERSENDIRI BAGI SAYA, KARENA ANDA TELAH MENGUNJUNGI BLOG SAYA INI, SEBUAH BLOG YANG MUNGKIN BUKAN SESUATU YANG PENTING BAGI ANDA.

KAMI MENYEDIAKAN BERBAGAI CONTOH TUGAS DAN INFORMASI IPA DAN MATEMATIKA

SEMOGA BLOG INI DAPAT BERMANFAAT UNTUK SAYA DAN KITA SEMUA.. AMIN.....


PEMBUAT BLOG


ttd

(luqman abdul hakim)

Label

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Bahasa Jawa

Pembuat Blog

PES dan WE

Bahasa Indonesia

handphone

Bahasa Inggris

aplikasi hp

Matematika

software

Selasa, 26 Maret 2013 - 12:39

Homonim & Homograf Boso Jowo

                                             HOMONIM

1.asma tegese :a. jeneng, nama
b. lara napas/mengi

2.beton tegese: a. isi nangka
b. cor-coran semen, watu, krikil lan gesik

3.bledug tegese: a. anak gajah
b. lebu sing katut angin

4.catur tegese: a. papat
b. gunem, omong
c. arane permainan

5.enggal tegese: a. cepet, gelis age-age, ndhang
b. anyar

6.golek tegese: a. araning wayang kayu/ boneka saka kayu
b. ngupadi, ngupaya

7.jumeneng tegese a. ngadeg
b. dadi, madeg

8.kala tegese a. jaring
b. nalika, ndhek, wektu, wayah

9.kalong tegese a. suda
b. araning kewan kang saba bengi bangsane lawa

10.kedalon tegese a. kewengen
b. kematengen tumprp woh-wohan

11.krama tegese a. rabi, omah-omah
b. aturan

12.labuh tegese a. araning mangsa sawise ketiga dadi rendheng
b. minggir/mandheg tumpraping prahu

13.mundhut tegese a. tuku
b. njupuk

14.ngasta tegese a. mulang
b. nggawa

15.ngelih tegese a. luwe, weteng kosong
b. mindhah

16.ngukur tegese a. ngilangi rasa gatel nganggo kuku
b. arep ngerti dawane utawa ambane

17.sepet tegese a. arane rasa
b. kulit klapa

18.sekar tegese a. tembang
b. kembang

19.serat tegese a. layang
b. garis/ototing kayu

20.sura tegese a. araning sasi jawa
b. wani kendel

21.timur tegese a. enom, muda
b. wetan

22.wani tegese a. ora wedi, gelem
b. nantang

23.waja tegese a. untu
b. araning wesi

24.wayah tegese a. putu
b. wektu, mangsa

25.weling tegese a. araning ula
b. wekas

26.peso tegese a.peso alat ngo motong
b.mata uang

27.papan tegese a.papan kayu
b.panggonan

28.surya tegese a.merk rokok
b,srengngenge

29.tabuh tegese a.wektu
  b.mukul, nutuk



                                             HOMOGRAP

1.meri tegese a. anak bebek
b. iri

2.geger tegese a. awak sisih mburi
b. pereng

3.apel tegese a. buah
b. dolang neng kanca wadon

4.Tekek tegese a.kewan
b.Gulune kecepit

5.gedek tegese a.gondik
b.anyaman soko pring

6.pecel tegese a.panganan
b.mbelah kayu

7.cepet tegese a.cepet, gagenan
b.pirantine wong wadon

8.pepet tegese a.edek, parek
b.swara boso jowo

9.cemek tegese a.ndemek
b.anak wedus

10.mbeller tegese a.nakal
b.landep

11.Kecap tegese a.bumbu masak
b.ngecap
Unknown B.Jawa
12:34

Cerpen Islami

Gontai kuberjalan. Galau hati tak menentu. Keramaian saat itu di sekeliling, mulai hilang satu per satu. Kulayangkan pandang pada sebuah tangga berbahan bambu. Kupegang tangga itu lalu kujadikan tempat bersandar sesaat. Dalam hitungan menit, tangga itu kupeluk bagaikan sahabat baru yang menemaniku arungi gelombang kehidupan.

Saat anak tangga terakhir kupanjat, dihadapanku tampaklah hamparan genting merah. Kududuk di atasnya dengan memeluk kedua kaki. Walaupun sentuhan angin malam kencang menyapa lapisan kulit, tak membuatku bergeming beranjak dari duduk di atap itu.

Indahnya malam itu begitu sempurna. Rembulan tampil bulat dengan bintang-bintang bertebaran disekelilingnya. Namun, semua itu tak jua menghibur hatiku yang telah padam. Semua karena peristiwa itu!
Aku seorang remaja yang baru menuju dewasa. Belum mengerti arti kehidupan sebenarnya. “Kau tidak adil, ya Allah!” teriakku lantang memecah malam. Berharap bulan menjawab dengan sesuatu yang menenangkan jiwa.
Namun, bulan bungkam.

***

Pagi yang cerah di ruang keluarga. Tiga hari yang lalu.

“Ran… Randy,” panggil Ibu mesra sambil memasak sarapan pagi untuk kami.
“Ada apa, Bu?” jawabku singkat tanpa menoleh sedikit pun.
Hari ini ayah, ibu, kakak, dan adikku berencana berziarah ke makam nenek dan kakek. Hanya aku yang tidak ikut, mengingat tugas sekolah yang semakin menumpuk sehingga mengambil sebagian besar waktu luangku. Sekali pun, hari ini libur.
Aku memang satu-satunya orang yang tidak menyetujui kepergian itu. Selain tugas yang menumpuk, aku berpirasat buruk dengan kepergian ini.

“Benar kamu tidak mau ikut?” tanya Ibu menatap mataku sendu.
“Bu, Ibu harus mendengarkan Randy kali ini. Randy benar-benar berpirasat buruk dengan keberangkatan ini, Bu. Randy mimpi buruk…,” ujar aku lirih sambil menelan ludah. “Randy, tidak tenang untuk membiarkan ibu berziarah,” lanjut aku lagi memohon ke Ibu sambil memegang kedua tangan hangatnya.
Namun, Ibu tidak bereaksi apa-apa. Ibu hanya tersenyum dan melanjutkan aktivitasnya kembali. Tinggallah rasa khawatirku terus menggoda untuk membujuk Ayah dan Ibu untuk membatalkan keberangkatan itu.

Beberapa menit berlalu. Kulihat Ayah, Ibu, Kakak dan Adik berpakaian rapi. Kurasa, mereka akan tetap berziarah. Aku hanya terdiam dan berharap jika mimpiku tidak benar adanya. Kalaupun keluargaku berziarah, mereka diberi keselamatan oleh Allah.
“Wahai Allah yang Maha berkehendak, jadikanlah mereka untuk membatalkan keberangkatan ini. Bukanlah Engkau menjadikan segala yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang tidak terjadi menjadi terjadi?” rintih hatiku penuh harap semoga Allah yang Maha pengabul itu mengabulkan doaku.
Kududuk di sebelah kiri ayah di meja makan. Kutatap semua wajah yang ada di meja itu. Mereka terlihat lebih rapi, terutama ibu. Ibu terlihat cantik sekali pagi ini.
Tiba-tiba pirasatku lewat mimpi semalam menari-nari dibenak. Akupun memejamkan mata lama. “Semua baik-baik saja,” batinku menenangkan.
“Kenapa makanannya dianggurkan, Ran?” tanya Ayah lembut, beda dari biasanya.
Ayah, sebenarnya tidak pernah bertanya seperti itu. Ayah mana peduli denganku. Selama ini, ayah hanya membanggakan kakak. Kakak berkuliah di Australia. Kakak yang sangat pintar. Kakak yang mendapatkan banyak prestasi.
Semua itu berbeda jauh denganku. Aku memang masuk lima besar di kelasku, tapi ayah tidak akan menoleh sedikitpun sebelum aku juara kesatu.

“Nggak, Yah. Randy hanya takut terjadi sesuatu di jalan kalau kalian jadi berangkat. Lebih baik batalkan saja, Yah. Mimpi Randy semalam….” belum juga selesai kata-kata Randy, kakaknya tiba-tiba memotong.
“Hei, you!” sambil menunjukku, “lebay banget!” lanjut Kakak lagi ketus. “Tenang saja, Nak. Allah pasti melindungi hamba-Nya jika mempunyai niat baik,” ucap ayah menenangkanku. Mungkin kata-kata ayah ada benarnya. Allah pasti melindungi mereka karena mereka mempunyai niat baik.

Mereka menyelesaikan sarapan sedikit lebih cepat dariku. Kemudian mereka bergegas untuk berangkat. Saat itu, ayah yang keluar terlebih dahulu melihat keadaan mobil. Baru diikuti ibu, kakak, dan adikku. Setelah sampai di luar rumah, mereka langsung masuk mobil. Mobil melaju perlahan mulai meninggalkan rumah.
Tiba-tiba pirasat itu begitu jelas menghampiri. Kali ini sampai sesak napas aku mengingatnya. “Stop! Jangan pergi dulu!” teriakku nyaring.
“Duh, Lebay, kenapa lagi sih lu?” tanya kakak sedikit ketus.
“Kalian tetap jadi pergi?” tanyaku memelas.
Mereka tersenyum. Hanya kakak yang jengkel menatapku.
“Kamu itu terlalu sayang kami, Randy,” sahut Ibu lembut.
“Kak, kalau sudah sampai hubungi aku ya?” ucapku untuk menghilangkan rasa cemas.
“Iya, Randy bawel,” sahut kakak masih menampakkan keki.

Tak lama mereka pun berangkat. Tampak kini mobil yang mereka tumpangi menjauh. Aku hanya terdiam, duduk, kadang mondar mandir, dan tidak semangat mengerjakan pekerjaan sekolah. Aku hanya berharap sesampainya mereka di tempat tujuan, kakak segera mengabariku.
Dua jam berlalu.
“Ring-ring-ring…,” bunyi telepon masuk membuat jantungku berdegub kencang. Aku bimbang memutuskan antara diangkat atau tidak. Kekhawatiranku memuncak. Jangan-jangan mimpi itu terbukti. Air mata pun tak dapat terbendung. Aku nyaris roboh.
“Jangan, ya Allah. Tolong…,” dengan suara yang nyaris tak terdengar, aku berdoa. Namun, deringan telepon semakin lantang memanggil-manggil untuk diangkat. Dengan tangan bergetar dan langkah tertatih, perlahan kuhampiri gagang telepon.
Aku menelan ludah, “Ha-halo?” tanyaku terbata-bata.
“Hei, lebay! Lama amat diangkatnya? Lagi ngapain sih?” suara kakakku nyata terdengar.
“Kak, ini Kakak?” tanyaku nyaris histeris.
“Ya iyalah. Kamu pikir ini siapa?”
Senyum gembira pun terlukis di wajahku. Tak terbayangkan betapa bahagianya aku saat itu. “Jadi Kakak dan yang lain sudah sampai?”
“Iya. Kami sudah sampai lebay. Sudah puas? Beres dari sini kami langsung pulang,” ucap kakakku dengan ciri khasnya yaitu agak ketus.
“He-he-he, iya. Adikmu yang tampan ini setia menunggu kalian pulang. Jangan lupa bawa oleh-oleh, ya,” jawabku senang bukan kepalang.
“Ya, sudah. Kita mau ke makam dulu ya, Bye. Tunggu telepon dari kakak lagi.”
“Baik.” jawabku bersemangat.
Tut-tut-tut. Telepon pun diputus.

Mungkin memang benar adanya. Aku terlalu sayang mereka. Sampai mimpi buruk semalam kusimpulkan menjadi sebuah pirasat. Padahal hal itu tak mendasar sekali.
Aku pun melanjutkan aktivitas kembali. Dengan tenang kududuk di depan laptop yang setiap hari kupakai mengerjakan tugas. Kunyalakan musik. Taklama terdengarlah lagu Ebiet mengalun.
Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan Dosa yang kita perbuat
Kemanakah lagi kita kan sembunyi
Hanya kepadaNya kita kembali

Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari hanyalah sujud padaNya
Du du du du du
dududu….Oo..Ooo..Oo…ho

Tak lama terdengar lagi telepon berbunyi. Dengan perasaan riang akupun mendekati. Aku sudah siap jika nanti ditanya oleh-oleh. Hatiku pun tertawa bahagia.
“Halo, Kak?”
“Halo, selamat siang. Ini rumah kediaman Bapak Harianto?” tanya yang di sana.
Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. “Iya, saya putra Bapak Harianto,”
“Kami dari kepolisian. Bapak Hariato sekeluarga mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarainya masuk jurang. Sekarang mereka ada di Rumah Sakit Harapan Jaya. Mereka semua dalam keadaan kritis…,” ucap Pak polisi panjang lebar.
Aku bungkam. Sekelebat teringat lagi mimpiku semalam. Aku tidak tahu tepatnya daerah itu. Hal pasti, daerah itu banyak ditumbuhi tanaman liar, pohon bambu yang gelap, dengan pohon yang ku tak tahu namanya menjulang tinggi. Sementara tak jauh dari situ, terdapat sungai deras. Saat itu, semua anggota keluargaku berlumuran darah, terutama kakak dan adikku. Antar anggota yang satu dengan yang lain pun berjauhan jaraknya. Tampaknya terpental. Kusadari kini, ternyata itu jurang.

Akhirnya, aku pun tak kuasa. Gagang telepon pun jatuh dari genggaman. Kusandarkan tubuhku ke dinding lalu duduk di lantai. Tangan, kaki, dan badanku terasa berat. Begitu pula, kepalaku serasa dihantam jutaan ton batu kali. Kurasakan hanya air mata yang menetes satu per satu.
“Ibu…!” jeritku nyaring. Aku harus melihat ibu.

Aku bergegas pergi ke rumah sakit tanpa mengusap satu pun air mata yang mengalir diwajah. Sesampainya di rumah sakit, sekencang mungkin kuberlari menghampiri meja receptionist untuk menanyakan keberadaan keluargaku. Ternyata mereka dalam satu ruangan yang sama dan hanya dipisah oleh selembar kain.
Tampak di mataku, mereka sedang diperiksa oleh dokter. Aku memaksa masuk. Kudapati Ibu yang tergeletak parah dengan bercucuran darah. Ia terlihat sangat tidak berdaya.
Kulirik kesampingnya, kudapati ayah yang lebih parah dari ibuku. Kepala dan kakinya diperban, tetapi tampaknya tak dapat membendung darah segar yang keluar dari tubuhnya.
Di samping Ayah, terlihat dua orang pasien yang sudah ditutup oleh selebar kain putih tipis. Aku melangkah perlahan mendekati salah satu pasien itu. Jantungku berdegup kencang. Ku tidak bisa menghentikan tangisan ini. Kubuka sedikit demi sedikit kain yang menutupi wajahnya itu. Kulihat seorang pria muda yang sangat tampan, Kakakku. “Innalillahi…” tangisku dalam hati. Kakakku sudah meninggal.
“Kakak…!” teriakku kencang, “bangun, Kak. Katakan aku lebay lagi, bawel, atau apapun. Tapi jangan tinggalkan Randy….” ucapku tertatih.
Akupun teringat satu pasien lagi. Dengan cepat kusibakkan penutup wajahnya. Memang dia adikku. “Innalillahi….” Adikku pun meninggal.

Tangisku pun memecah. Histeris kupeluk mayat adikku yang sudah kaku terbujur dan tidak kurasakan hangat ditubuhnya. Saat kumemeluk mayat adikku itulah, sekilas kumendengar suara suster berbisik, “Dok, Dokter. Kedua pasien ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”
“Ayah… Ibu….!” panggilku sambil menangis.
“Aaa….!” akupun menjerit sejadi-jadinya.
Aku limbung.

***

“Prakkk” tiba-tiba suara genting jatuh membangunkanku dari bayangan tiga hari lalu.
Tidak terasa sudah tiga jam aku berada di atas genting belakang rumahku. Ku tatap bulan dan bintang dalam heningnya malam dengan hampa hati. Kini aku hanya bisa berdoa.
“Ya Allah, aku tetap percaya pada-Mu. Kau memang mempunyai rencana lain untukku. Aku mohon kali ini kabulkan doaku. Berikan mereka ketenangan di surga sana. Berikan mereka satu per satu bintang yang sedang kulihat ini agar bintang ini menyampaikan rasa rinduku dan agar mereka mengingatku selalu. Ya Allah, berikanlah aku ketabahan menerima semua ini. Akan aku buktikan pada keluargaku kelak, aku bisa menjadi orang kebanggaan ayah. Aku bisa berprestasi seperti kakak. Satu lagi mohonku, berikan aku orang-orang yang akan menemaniku dari pagi sampai malam, dari hidup sampai mati, dari sendiri sampai penuh kebersamaan. Kuyakin Kau Maha pengabul doa ya Allah. Amin.”

***

Setahun telah berlalu. Memang benar. Allah Maha pengabul doa yang tiada tertandingi. Aku mempunyai banyak sahabat. Sekarang ada paman dan bibiku yang menemaniku di rumah. Aku pun menjadi juara umum di sekolah sehingga aku dibebaskan dari semua biaya sekolah. Walaupun setiap saat setiap waktu aku mengingat ayah, ibu, kakak dan adikku, tapi aku yakin mereka bahagia di surga sana.
Sesungguhnya hanya kepada Allah lah tempat kita kembali.

Cerpen Karangan: Abdul Basit Hasanudin
Blog: CerpenBasit.blogspot.com
Facebook: Abdul Basit Hasanudin
Kelas: XI ADM. Perkantoran 3
Sekolah: SMK Negeri 1 Bogor
Saya hanya seorang pelajar yang hobby menulis. Saya harap dengan mengirimkan dan menerbitkan cerpen ini disini. Kemampuan menulis saya lebih terasah dan mohon bimbingannya.
terima kasih
Unknown B.Indonesia
12:31

Cerpen Persahabatan

Sahabatku

Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti Iwan. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.

Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Iwan yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau main di rumah Iwan.

Iwan sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Momon. Rumahnya masih satu kelurahan dengan rumah Iwan. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Momon tidak main ke rumah Iwan.

“Ke mana, ya,Ma, Momon. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu datang.”

“Mungkin sakit!” jawab Mama.

“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!” katanya bersemangat

Sudah tiga kali pintu rumah Momon diketuk Iwan. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian Iwan menanyakan ke tetangga sebelah rumah Momon. Iamendapat keterangan bahwa momon sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Momon di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Momon. Terpaksa Momon tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.

“Oh, kasihan Momon,” ucapnya dalam hati,

Di rumah Iwan tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia selalu murung.

“Ada apa, Wan? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan ceria!” Papa menegur

“Momon, Pa.”

“Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Iwan menggeleng.

“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.

“Momon sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.
Papa menatap wajah Iwan tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Iwan.

“Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.

“Lalu apa rencana kamu?”

“Aku harap Papa bisa menolong Momon!”

“Maksudmu?”

“Saya ingin Momon bisa berkumpul kembali dengan aku!” Iwan memohon dengan agak mendesak.

“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Momon di desa itu!” kata Papa.

Dua hari kemudian Iwan baru berhasil memperoleh alamat rumah Momon di desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Momon. Kemudian Iwan bersama Papa datang ke rumah Momon di wilayah Kadipaten. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua Momon dan Momon sendiri. Betapa gembira hati Momon ketika bertemu dengan Iwan. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Momon agak kaget dengan kedatangan Iwan secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Iwan inginberkunjung ke rumah Momon di desa.

“Sorry, ya, Wan. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”

“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!”

Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Momon. Ternyata orang tua Momon tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Momon sendiri.

“Begini, Mon, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Bandung. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Mon, apakah kamu mau?” Tanya Papa.

“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang akan menanggung.”

“Baiklah kalau memang Bapak dan Iwan menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.”

Kemudian Iwan bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Momon. Tampak mata Iwan berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Momon tinggal di rumah Iwan. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Momon yang sudah tua.
Unknown B.Indonesia