tag:blogger.com,1999:blog-14448733154773638652024-03-14T10:55:38.516+07:00◦☆◦ GO|Blog's ◦☆◦Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00919789239622959467noreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-1444873315477363865.post-65947220289291639022013-03-26T12:34:00.000+07:002013-03-26T12:34:07.027+07:00Cerpen Islami<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Gontai kuberjalan. Galau hati tak menentu. Keramaian saat itu di sekeliling, mulai hilang satu per satu. Kulayangkan pandang pada sebuah tangga berbahan bambu. Kupegang tangga itu lalu kujadikan tempat bersandar sesaat. Dalam hitungan menit, tangga itu kupeluk bagaikan sahabat baru yang menemaniku arungi gelombang kehidupan.<br /><br />Saat anak tangga terakhir kupanjat, dihadapanku tampaklah hamparan genting merah. Kududuk di atasnya dengan memeluk kedua kaki. Walaupun sentuhan angin malam kencang menyapa lapisan kulit, tak membuatku bergeming beranjak dari duduk di atap itu.<br /><br />Indahnya malam itu begitu sempurna. Rembulan tampil bulat dengan bintang-bintang bertebaran disekelilingnya. Namun, semua itu tak jua menghibur hatiku yang telah padam. Semua karena peristiwa itu!<br /> Aku seorang remaja yang baru menuju dewasa. Belum mengerti arti kehidupan sebenarnya. “Kau tidak adil, ya Allah!” teriakku lantang memecah malam. Berharap bulan menjawab dengan sesuatu yang menenangkan jiwa.<br /> Namun, bulan bungkam.<br /><br />***<br /><br />Pagi yang cerah di ruang keluarga. Tiga hari yang lalu.<br /><br />“Ran… Randy,” panggil Ibu mesra sambil memasak sarapan pagi untuk kami.<br /> “Ada apa, Bu?” jawabku singkat tanpa menoleh sedikit pun.<br /> Hari ini ayah, ibu, kakak, dan adikku berencana berziarah ke makam nenek dan kakek. Hanya aku yang tidak ikut, mengingat tugas sekolah yang semakin menumpuk sehingga mengambil sebagian besar waktu luangku. Sekali pun, hari ini libur.<br /> Aku memang satu-satunya orang yang tidak menyetujui kepergian itu. Selain tugas yang menumpuk, aku berpirasat buruk dengan kepergian ini.<br /><br />“Benar kamu tidak mau ikut?” tanya Ibu menatap mataku sendu.<br /> “Bu, Ibu harus mendengarkan Randy kali ini. Randy benar-benar berpirasat buruk dengan keberangkatan ini, Bu. Randy mimpi buruk…,” ujar aku lirih sambil menelan ludah. “Randy, tidak tenang untuk membiarkan ibu berziarah,” lanjut aku lagi memohon ke Ibu sambil memegang kedua tangan hangatnya.<br /> Namun, Ibu tidak bereaksi apa-apa. Ibu hanya tersenyum dan melanjutkan aktivitasnya kembali. Tinggallah rasa khawatirku terus menggoda untuk membujuk Ayah dan Ibu untuk membatalkan keberangkatan itu.<br /><br />Beberapa menit berlalu. Kulihat Ayah, Ibu, Kakak dan Adik berpakaian rapi. Kurasa, mereka akan tetap berziarah. Aku hanya terdiam dan berharap jika mimpiku tidak benar adanya. Kalaupun keluargaku berziarah, mereka diberi keselamatan oleh Allah.<br /> “Wahai Allah yang Maha berkehendak, jadikanlah mereka untuk membatalkan keberangkatan ini. Bukanlah Engkau menjadikan segala yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang tidak terjadi menjadi terjadi?” rintih hatiku penuh harap semoga Allah yang Maha pengabul itu mengabulkan doaku.<br /> Kududuk di sebelah kiri ayah di meja makan. Kutatap semua wajah yang ada di meja itu. Mereka terlihat lebih rapi, terutama ibu. Ibu terlihat cantik sekali pagi ini.<br /> Tiba-tiba pirasatku lewat mimpi semalam menari-nari dibenak. Akupun memejamkan mata lama. “Semua baik-baik saja,” batinku menenangkan.<br /> “Kenapa makanannya dianggurkan, Ran?” tanya Ayah lembut, beda dari biasanya.<br /> Ayah, sebenarnya tidak pernah bertanya seperti itu. Ayah mana peduli denganku. Selama ini, ayah hanya membanggakan kakak. Kakak berkuliah di Australia. Kakak yang sangat pintar. Kakak yang mendapatkan banyak prestasi.<br /> Semua itu berbeda jauh denganku. Aku memang masuk lima besar di kelasku, tapi ayah tidak akan menoleh sedikitpun sebelum aku juara kesatu.<br /><br />“Nggak, Yah. Randy hanya takut terjadi sesuatu di jalan kalau kalian jadi berangkat. Lebih baik batalkan saja, Yah. Mimpi Randy semalam….” belum juga selesai kata-kata Randy, kakaknya tiba-tiba memotong.<br /> “Hei, you!” sambil menunjukku, “lebay banget!” lanjut Kakak lagi ketus. “Tenang saja, Nak. Allah pasti melindungi hamba-Nya jika mempunyai niat baik,” ucap ayah menenangkanku. Mungkin kata-kata ayah ada benarnya. Allah pasti melindungi mereka karena mereka mempunyai niat baik.<br /><br />Mereka menyelesaikan sarapan sedikit lebih cepat dariku. Kemudian mereka bergegas untuk berangkat. Saat itu, ayah yang keluar terlebih dahulu melihat keadaan mobil. Baru diikuti ibu, kakak, dan adikku. Setelah sampai di luar rumah, mereka langsung masuk mobil. Mobil melaju perlahan mulai meninggalkan rumah.<br /> Tiba-tiba pirasat itu begitu jelas menghampiri. Kali ini sampai sesak napas aku mengingatnya. “Stop! Jangan pergi dulu!” teriakku nyaring.<br /> “Duh, Lebay, kenapa lagi sih lu?” tanya kakak sedikit ketus.<br /> “Kalian tetap jadi pergi?” tanyaku memelas.<br /> Mereka tersenyum. Hanya kakak yang jengkel menatapku.<br /> “Kamu itu terlalu sayang kami, Randy,” sahut Ibu lembut.<br /> “Kak, kalau sudah sampai hubungi aku ya?” ucapku untuk menghilangkan rasa cemas.<br /> “Iya, Randy bawel,” sahut kakak masih menampakkan keki.<br /><br />Tak lama mereka pun berangkat. Tampak kini mobil yang mereka tumpangi menjauh. Aku hanya terdiam, duduk, kadang mondar mandir, dan tidak semangat mengerjakan pekerjaan sekolah. Aku hanya berharap sesampainya mereka di tempat tujuan, kakak segera mengabariku.<br /> Dua jam berlalu.<br /> “Ring-ring-ring…,” bunyi telepon masuk membuat jantungku berdegub kencang. Aku bimbang memutuskan antara diangkat atau tidak. Kekhawatiranku memuncak. Jangan-jangan mimpi itu terbukti. Air mata pun tak dapat terbendung. Aku nyaris roboh.<br /> “Jangan, ya Allah. Tolong…,” dengan suara yang nyaris tak terdengar, aku berdoa. Namun, deringan telepon semakin lantang memanggil-manggil untuk diangkat. Dengan tangan bergetar dan langkah tertatih, perlahan kuhampiri gagang telepon.<br /> Aku menelan ludah, “Ha-halo?” tanyaku terbata-bata.<br /> “Hei, lebay! Lama amat diangkatnya? Lagi ngapain sih?” suara kakakku nyata terdengar.<br /> “Kak, ini Kakak?” tanyaku nyaris histeris.<br /> “Ya iyalah. Kamu pikir ini siapa?”<br /> Senyum gembira pun terlukis di wajahku. Tak terbayangkan betapa bahagianya aku saat itu. “Jadi Kakak dan yang lain sudah sampai?”<br /> “Iya. Kami sudah sampai lebay. Sudah puas? Beres dari sini kami langsung pulang,” ucap kakakku dengan ciri khasnya yaitu agak ketus.<br /> “He-he-he, iya. Adikmu yang tampan ini setia menunggu kalian pulang. Jangan lupa bawa oleh-oleh, ya,” jawabku senang bukan kepalang.<br /> “Ya, sudah. Kita mau ke makam dulu ya, Bye. Tunggu telepon dari kakak lagi.”<br /> “Baik.” jawabku bersemangat.<br /> Tut-tut-tut. Telepon pun diputus.<br /><br />Mungkin memang benar adanya. Aku terlalu sayang mereka. Sampai mimpi buruk semalam kusimpulkan menjadi sebuah pirasat. Padahal hal itu tak mendasar sekali.<br /> Aku pun melanjutkan aktivitas kembali. Dengan tenang kududuk di depan laptop yang setiap hari kupakai mengerjakan tugas. Kunyalakan musik. Taklama terdengarlah lagu Ebiet mengalun.<br /> Tuhan pasti telah memperhitungkan<br /> Amal dan Dosa yang kita perbuat<br /> Kemanakah lagi kita kan sembunyi<br /> Hanya kepadaNya kita kembali<br /> …<br /> Tak ada yang bakal bisa menjawab<br /> Mari hanyalah sujud padaNya<br /> Du du du du du<br /> dududu….Oo..Ooo..Oo…ho<br /><br />Tak lama terdengar lagi telepon berbunyi. Dengan perasaan riang akupun mendekati. Aku sudah siap jika nanti ditanya oleh-oleh. Hatiku pun tertawa bahagia.<br /> “Halo, Kak?”<br /> “Halo, selamat siang. Ini rumah kediaman Bapak Harianto?” tanya yang di sana.<br /> Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. “Iya, saya putra Bapak Harianto,”<br /> “Kami dari kepolisian. Bapak Hariato sekeluarga mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarainya masuk jurang. Sekarang mereka ada di Rumah Sakit Harapan Jaya. Mereka semua dalam keadaan kritis…,” ucap Pak polisi panjang lebar.<br /> Aku bungkam. Sekelebat teringat lagi mimpiku semalam. Aku tidak tahu tepatnya daerah itu. Hal pasti, daerah itu banyak ditumbuhi tanaman liar, pohon bambu yang gelap, dengan pohon yang ku tak tahu namanya menjulang tinggi. Sementara tak jauh dari situ, terdapat sungai deras. Saat itu, semua anggota keluargaku berlumuran darah, terutama kakak dan adikku. Antar anggota yang satu dengan yang lain pun berjauhan jaraknya. Tampaknya terpental. Kusadari kini, ternyata itu jurang.<br /><br />Akhirnya, aku pun tak kuasa. Gagang telepon pun jatuh dari genggaman. Kusandarkan tubuhku ke dinding lalu duduk di lantai. Tangan, kaki, dan badanku terasa berat. Begitu pula, kepalaku serasa dihantam jutaan ton batu kali. Kurasakan hanya air mata yang menetes satu per satu.<br /> “Ibu…!” jeritku nyaring. Aku harus melihat ibu.<br /><br />Aku bergegas pergi ke rumah sakit tanpa mengusap satu pun air mata yang mengalir diwajah. Sesampainya di rumah sakit, sekencang mungkin kuberlari menghampiri meja receptionist untuk menanyakan keberadaan keluargaku. Ternyata mereka dalam satu ruangan yang sama dan hanya dipisah oleh selembar kain.<br /> Tampak di mataku, mereka sedang diperiksa oleh dokter. Aku memaksa masuk. Kudapati Ibu yang tergeletak parah dengan bercucuran darah. Ia terlihat sangat tidak berdaya.<br /> Kulirik kesampingnya, kudapati ayah yang lebih parah dari ibuku. Kepala dan kakinya diperban, tetapi tampaknya tak dapat membendung darah segar yang keluar dari tubuhnya.<br /> Di samping Ayah, terlihat dua orang pasien yang sudah ditutup oleh selebar kain putih tipis. Aku melangkah perlahan mendekati salah satu pasien itu. Jantungku berdegup kencang. Ku tidak bisa menghentikan tangisan ini. Kubuka sedikit demi sedikit kain yang menutupi wajahnya itu. Kulihat seorang pria muda yang sangat tampan, Kakakku. “Innalillahi…” tangisku dalam hati. Kakakku sudah meninggal.<br /> “Kakak…!” teriakku kencang, “bangun, Kak. Katakan aku lebay lagi, bawel, atau apapun. Tapi jangan tinggalkan Randy….” ucapku tertatih.<br /> Akupun teringat satu pasien lagi. Dengan cepat kusibakkan penutup wajahnya. Memang dia adikku. “Innalillahi….” Adikku pun meninggal.<br /><br />Tangisku pun memecah. Histeris kupeluk mayat adikku yang sudah kaku terbujur dan tidak kurasakan hangat ditubuhnya. Saat kumemeluk mayat adikku itulah, sekilas kumendengar suara suster berbisik, “Dok, Dokter. Kedua pasien ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”<br /> “Ayah… Ibu….!” panggilku sambil menangis.<br /> “Aaa….!” akupun menjerit sejadi-jadinya.<br /> Aku limbung.<br /><br />***<br /><br />“Prakkk” tiba-tiba suara genting jatuh membangunkanku dari bayangan tiga hari lalu.<br /> Tidak terasa sudah tiga jam aku berada di atas genting belakang rumahku. Ku tatap bulan dan bintang dalam heningnya malam dengan hampa hati. Kini aku hanya bisa berdoa.<br /> “Ya Allah, aku tetap percaya pada-Mu. Kau memang mempunyai rencana lain untukku. Aku mohon kali ini kabulkan doaku. Berikan mereka ketenangan di surga sana. Berikan mereka satu per satu bintang yang sedang kulihat ini agar bintang ini menyampaikan rasa rinduku dan agar mereka mengingatku selalu. Ya Allah, berikanlah aku ketabahan menerima semua ini. Akan aku buktikan pada keluargaku kelak, aku bisa menjadi orang kebanggaan ayah. Aku bisa berprestasi seperti kakak. Satu lagi mohonku, berikan aku orang-orang yang akan menemaniku dari pagi sampai malam, dari hidup sampai mati, dari sendiri sampai penuh kebersamaan. Kuyakin Kau Maha pengabul doa ya Allah. Amin.”<br /><br />***<br /><br />Setahun telah berlalu. Memang benar. Allah Maha pengabul doa yang tiada tertandingi. Aku mempunyai banyak sahabat. Sekarang ada paman dan bibiku yang menemaniku di rumah. Aku pun menjadi juara umum di sekolah sehingga aku dibebaskan dari semua biaya sekolah. Walaupun setiap saat setiap waktu aku mengingat ayah, ibu, kakak dan adikku, tapi aku yakin mereka bahagia di surga sana.<br /> Sesungguhnya hanya kepada Allah lah tempat kita kembali.<br /><br />Cerpen Karangan: Abdul Basit Hasanudin<br /> Blog: CerpenBasit.blogspot.com<br /> Facebook: Abdul Basit Hasanudin<br /> Kelas: XI ADM. Perkantoran 3<br /> Sekolah: SMK Negeri 1 Bogor<br /> Saya hanya seorang pelajar yang hobby menulis. Saya harap dengan mengirimkan dan menerbitkan cerpen ini disini. Kemampuan menulis saya lebih terasah dan mohon bimbingannya.<br /> terima kasih </div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00919789239622959467noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1444873315477363865.post-76086903628575298242013-03-26T12:31:00.001+07:002013-03-26T12:31:19.813+07:00Cerpen Persahabatan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: left;">
<em><strong><span style="font-family: Times, "Times New Roman", serif;"><span style="font-size: large;">Sahabatku</span></span></strong></em><br /><br /> Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti Iwan. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.<br /><br /> Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Iwan yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau main di rumah Iwan.<br /><br /> Iwan sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Momon. Rumahnya masih satu kelurahan dengan rumah Iwan. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Momon tidak main ke rumah Iwan.<br /><br /> “Ke mana, ya,Ma, Momon. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu datang.”<br /><br /> “Mungkin sakit!” jawab Mama.<br /><br /> “Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!” katanya bersemangat<br /><br /> Sudah tiga kali pintu rumah Momon diketuk Iwan. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian Iwan menanyakan ke tetangga sebelah rumah Momon. Iamendapat keterangan bahwa momon sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Momon di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Momon. Terpaksa Momon tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.<br /><br /> “Oh, kasihan Momon,” ucapnya dalam hati,<br /><br /> Di rumah Iwan tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia selalu murung.<br /><br /> “Ada apa, Wan? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan ceria!” Papa menegur<br /><br /> “Momon, Pa.”<br /><br /> “Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Iwan menggeleng.<br /><br /> “Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.<br /><br /> “Momon sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.<br /> Papa menatap wajah Iwan tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Iwan.<br /><br /> “Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.<br /><br /> “Lalu apa rencana kamu?”<br /><br /> “Aku harap Papa bisa menolong Momon!”<br /><br /> “Maksudmu?”<br /><br /> “Saya ingin Momon bisa berkumpul kembali dengan aku!” Iwan memohon dengan agak mendesak.<br /><br /> “Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Momon di desa itu!” kata Papa.<br /><br /> Dua hari kemudian Iwan baru berhasil memperoleh alamat rumah Momon di desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Momon. Kemudian Iwan bersama Papa datang ke rumah Momon di wilayah Kadipaten. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua Momon dan Momon sendiri. Betapa gembira hati Momon ketika bertemu dengan Iwan. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Momon agak kaget dengan kedatangan Iwan secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Iwan inginberkunjung ke rumah Momon di desa.<br /><br /> “Sorry, ya, Wan. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”<br /><br /> “Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!”<br /><br /> Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Momon. Ternyata orang tua Momon tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Momon sendiri.<br /><br /> “Begini, Mon, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Bandung. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Mon, apakah kamu mau?” Tanya Papa.<br /><br /> “Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang akan menanggung.”<br /><br /> “Baiklah kalau memang Bapak dan Iwan menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.”<br /><br /> Kemudian Iwan bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Momon. Tampak mata Iwan berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Momon tinggal di rumah Iwan. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Momon yang sudah tua.</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00919789239622959467noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1444873315477363865.post-14173146682234474722012-12-16T09:56:00.000+07:002013-01-13T11:04:28.475+07:00Cerpen<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Georgia, "Times New Roman", serif;">Terpatah Cinta</span></span></div>
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
gelap gulita menyambutku saat ku buka mata yang telah lama tertutup ini, suara gemricik air melintas di telingaku, sekedip cahaya malu-malu muncul di depan mata ini, terkadang terlintas suara suara memaggilku, lama kelamaan suaranya pun makin menjadi, tertuntun langkah kakiku menuju asal suara itu.<br />
tiupan sang bayu menyambutku, ku tertengguk dengan suara merdu burung-burung bernyanyi, derasnya air terjun menambah indah keelokannya, terdengar suara memanggil-manggil namaku, kubertaya pada hatiku<br />
"suara siapa ini, mengapa terus memangil namaku" tanyaku dalam hati yang sedang takjub seakan tak percaya apa yang baru saja kulihat<br />
sebuah telapak tangan jatuh di pundakku, ku terkaget-kaget melihatnya , sesekali ku berfikir mungkin ini hanyalah mimpi, suara-suara lembut membelai-belai namaku, nampak seseorang memadangku dengan mata sipitnya<br />
"tagor... apakah itu benar kau tagor....?" teriakku<br />
"ya ini aku sekarku sayang" jawab tagor merayuku<br />
"syukurlah kau baik-baik saja..., dimana ini mungkinkah aku sudah mati..?" jawbku mendesak<br />
Tagor terdiam kaku, tak sepatah katapun keluar dari bibir merahnya....<br />
tengorokan makin mengering laksana sumur di kamarau.... pelan-pelan suara mulai menyembuyikan dirinya, ku hempaskan semua isi hati ini seakan dunia ini hanya ada aku seorang.<br />
pelukan hangat menghampiriku, jujur aku merasa nyaman di peluknya..., hati tentram dan kehangatan kasih sayang inilah yang sudah lama aku impikan, apalagi semenjak ayahku membanting tulang ke luar negri, suasana rumah kami tidak bagitu hangat sehangat kasih sayang ini, semenjak itu tiada satupun pria yang menjaga aku dan ibuku<br />
"sekar.... mari kita terbang menuju awan... menuju dunia indah kita berdua..." kata Tagor berusaha merayuku<br />
"maafkan aku Tagor... aku tak bisa menemanimu.... mungkin inilah takdir kita?"jawabku dengan terbata-bata...<br />
alunan ayat-ayat suci alqur'an menggema di kamar rumah sakir sekar, sorang pria paruh baya mengumandangkannya..., tak lain alunan ayat suci al qur'an di lantunkan oleh ayahnya sekar, jari-jari sekar pun mulai bergerak lamban... <br />
"dok... dokter.... cepat kemari dok.....?"teriak ibundari dengan air mata kebahagian yang terus menetes dari matanya<br />
perlahan-lahan sekar mulai melihat kembali indahnya dunia ini, senyum-senum bahagia orang yang menyayanginya menyambut sekar mambuka matanya kembali setelah sekian minggu koma<br />
tak terasa waktu berjalan amat cepat , sebulan kini telah berlalu, sekar sudah mendapat lampu hijau untuk pulang ke rumah, kaki-kaki mulusnya hingga kini masih kaku dan tak berdaya, <br />
"dok... apakah kaki saya ini masih bisa sembuh..?" tanyaku meluapkan isi semua hatiku yang was-was ini<br />
"gak usah panggil dokter panggil ja Adit...... kamu sangat beruntung sekar, banyak pasien yang tak seberuntung kamu, saya yakin kamu pasti sembuh, dengan melakukan hemoterapi secara teratur selama 10 bulan, besar kemungkinan kamu sembuh... belum lagi ditambah dukungan orang-orang yang menyayangimu" jawab dokter berusaha meyakinkanku<br />
"terima kasih dok.. " jawabku bahagia <br />
"sekar ..... panggil ja adit" jawab dokter<br />
"ya adit" jawabku dengan senyuman di bibir yang masih pucat ini<br />
"ya gitu dong... besok aku akan datang kerumahmu utuk mengontrol keadaan mu" jawab adit dengan senyum manis dibibirnya<br />
Suasana rumah yang gelap menyambutku, malam itu rumah terasa sunyi.., daun-daun kering berserakan hampi metupi seluruh halaman, suara pintu tua seperti jangkrik membahana saat ayah buka pintu ini.....<br />
kain bertulisakan "SELAMAT DATANG KEMBALI DI RUMAH"menyambutku, teriak-teriakan histeris teman-teman SMPku membunyi, semua hadir di acara suka cita ini, malam ini tiada siapapun yang sedih, semua larut dalam pesta malam ini.<br />
matahari mulai menyapa hari yang cerah sekaligus istimewa ini, maklum ini adalah pagi pertamaku setelah lebih dari seminggu ku berkelana di dunia mimpi, makan pagi itu sangat spesial, ayah ibu semua larut dalam canda tawa, menciptakan kembali kehangatan kasih sayang di keluarga kami yang sempat hilang dterpa himpitan ekonomi, sesekali ku bertanya pada hati ini,<br />
" apakah kehangatan keluarga seperti inikah yang aku dan bundaku rindukan..... ?" tanyaku pada hati yang bahgia ini<br />
Canda tawa pun makin menjadi sampai tak terdengar suara adit yang telah lama permisi namun tidak ada jawaban.. lalu dia pun masuk rumah<br />
"maaf... bu saya masuk sembarangan, tadi dah salam gak ada jawaban" kata adit menjelaskan<br />
"ya gak apa apa , makan dulu Dit?"tanyaku menawarkan makanan <br />
"ngak usah..., saya sudah makan tadi..." jawab adit mengelak <br />
"oh ya, Sekar.., adit dah datang tuh....,"tanya ibuku<br />
alat-alat kedokteran mulai menempel ditubuh mungilku ini, Galuh tak pernah absen kalau mengunjungi rumahku, bahkan kabut-kabut putih belum lenyap ditelan sinar mataharipun dia sudah hadir di rumahku.<br />
tatapan mata-mata orang yang menyayangiku membuatku tertengguk malu saat alat-alat kedokteran menempel lekat di tubuh mungil ini,<br />
"dah selesai sekar.... selanutnya kamu harus jalani hemoterapi" kata adit menenangkan hatiku ini<br />
"ya dok... kapan dok..?"tanyaku<br />
"setiap minggu aku akan menjemputmu.... kamu mau kan?" kata adit<br />
"ya boleh dok.... Galuh..kamu jangan cemburu lho? tanyaku bercanda <br />
"gak kok, kalau itu agar kamu sembuh aku akan lakukan " jawab galuh ngegombal<br />
<br />
kini hari-hariku terasa amat berbada, apalagi saat matahari minggu mulai menyapa... kusambut hari minggu dengan suka cita, belum lagi menunggu kehadiran si dokter ganteng adit,sebenarnya hatiku ini masih bimbang menentukan Galuh atau Adit yang akan menemani masa tuaku, namun aku pastikan bahwa waktu akan menjawabnya.<br />
minggu demi minggu telah berlangsung, kini kaki mungil ini sudah siap menapakkan kembali ke tanah, kuberanjak dari kursi roda tuaku ini, Galuh dan Adit menuntun langkah-langkah pertama ini setelah sekian lama kuterbaring tak berdaya, kini kaki mungil ini sudah mampu menapak di bumi nusantara ini, senyum bahagia ayah dan bunda menemani langkah pertama ini.<br />
Rasa-rasa tak wajar mulai tumbuh dihatiku , mungkin ini juga terjadi pada Adik si dokter yang telah merawatku dengan kasih sayang yang tidak biasa, jalan bareng, di antar jemput hemoterapi meluluhkan hatiku yang sempat kaku ini, perhatiannya sungguh dapat mengalihkan pandangan mata orang tuaku.<br />
awan-awan merah mulai bertebaran diatas angkasa sore, matahari yang tertutup awan tipis makin menunjukkan keelokannya, bulan purnama yang mulai berontak ingin segera menampakkan keelokannya menjadikan sore itu sempurna bagiku, kutertenguk terdiam, menatap ke angkasa sore, dua ornag pria saling berontak di hati yang hampa ini, jujur ku bingung memilih, tenggokan kering ini seolah tak mampu lagi bicara.<br />
langit gelap menyelimuti bumi nusantara ini, suara petir-petir menggelegar setiap detik seolah petir tak biarkan seorangpun keluar rumah, hujan deras dari pagi hari menemani malam yang menyeramkan itu, hujan deras masih terus mengguyur rumah tua kami ini,belum lagi tiupan kencang sang bayu yang menumbangkan pohon-pohon besar kehangatan kasih sayang keluarga makin terasa ditengah hujan petir ini, kilatan cahaya membutakan mata kami, disusul suara bentakan yang amat keras membuat diriku tumbang di malam ini.<br />
Panik, kawatir, dan kaget inilah yang berdiam di hati ayah dan bundaku malam ini, Adit dan Galuh yang menerima berita tersebut langsung datang ke rumah, mereka melawan kejamnya alam ini hanya untuk pujaan hatinya, Adit yang juga seorang dokter langsung memeriksa keadaanku, memang dalam waktu dekat ini aku sering jatuh bangun pingsan, sample darahku diambil untuk mematikan penyakit yang telah lama hinggap ini.<br />
lantunan ayat suci alqur'an mengunggah untuk membuka mata ini, ini adalah kali kedua ku terbangun keajaiban ayat-ayat suci alqur'an,<br />
"sekar... syukurlah kau sudah sadar nak..... kau tidak apa-apa kan......? kami semua mencemaskan mu nak..... "kata ibuku yang sangat cemas<br />
"saya gak apa-apa bun.... tenang saja bun..." jawab ku</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00919789239622959467noreply@blogger.com1